Sejarah dan Cerita Warga Desa Kebumen yang Pantang Menjual Nasi

Kebumen Sebuah desa di Kebumen, Jawa Tengah melarang warganya untuk berjualan nasi. Menurut kepercayaan warga jika hal itu dilanggar, maka akan ada musibah terjadi di desa tersebut.

Desa Penimbun, Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen ini terletak sekitar 20 km ke arah barat laut dari Kota Kebumen. Meski tak ada aturan tertulis, tapi tak semua warga tak ada yang berani melanggar pantangan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang itu.

Desa ini hanya memiliki dua dusun yakni Krajan dan Prapatan. Saat menelusuri desa tersebut, sepintas tak ada yang berbeda dengan suasana pedesaan lainnya. Namun, meski banyak warga yang membuka warung makan, tak satupun dari mereka yang berani menjual nasi.

"Konon ceritanya ada pengelana atau musafir lewat di Desa Penimbun terus minta nasi kepada warga karena kelaparan, tapi tidak ada yang mau ngasih karena saat itu warga juga masih dalam keadaan susah.

Musafir itu kemudian mengeluarkan kata-kata semacam kutukan jika warga Penimbun dan anak cucunya kelak ada yang jualan nasi maka akan ada musibah di sini," kata Sekretaris Desa setempat, Simin Prayogi (36) saat ditemui detikcom di kediamannya, Sabtu (22/5/2021).

Simin lalu mengenang ketika ada warga yang melanggar pantangan berjualan nasi ini. Entah kebetulan atau tidak, warga yang melanggar pantangan itu meninggal.

"Musibahnya ya ada kejadian yang tidak wajar, intinya ada kematian. Mungkin memang takdirnya, tapi kebetulan ada kejadian pas dulu pernah ada yang melanggar. Makanya sampai sekarang warga sama sekali tidak berani melanggar lagi," imbuhnya.

Tak ada nasi, warga diperbolehkan jualan lontong atau ketupat


Meski ada pantangan untuk berjualan nasi, namun warga masih diperbolehkan menjual ketupat atau lontong meski bahan dasarnya sama. Hal itu karena makanan itu memiliki julukan yang berbeda.

"Kalau lontong atau kupat boleh karena namanya bukan nasi, yang dilarang itu segala nasi misal nasi rames, nasi goreng, nasi uduk, nasi singkong juga nggak boleh," jelasnya.

Hal senada disampaikan salah satu tokoh masyarakat Desa Penimbun yakni Sarno (51 ). Sarno sudah sejak tahun 1997 membuka warung kelontong lengkap dengan segala keperluan warga termasuk sayur mayur, namun warungnya tidak menjual nasi.

"Walaupun aturannya tidak tertulis, namun kami juga tidak berani melanggar. Takut nanti ada apa-apa, fixing jualan yang lain aja," tutur Sarno saat ditemui detikcom di warungnya.

Sarno menjelaskan, Desa Penimbun sendiri berasal dari kata Tenimbun yang artinya timbunan atau tumpukan batu. Namun karena susah diucapkan, kata Tenimbun akhirnya berubah jadi Penimbun.

Timbunan atau tumpukan bebatuan yang merupakan cikal bakal berdirinya desa itu pun hingga kini masih ada dan dikeramatkan oleh warga setempat.


Konon, timbunan batu itu dikumpulkan dalam waktu semalam oleh seorang wali penyebar agama Islam yang saat itu akan membuat mosque sebagai tanda berdirinya desa tersebut.

Namun karena saat itu warga masih banyak yang berjudi dan tidak bisa diingatkan, maka mosque itu urung dibuat.

"Petilasan ini namanya Panembahan Kuwu Batur yang merupakan cikal bakal desa ini. Dulu mau dibikin masjid di sini oleh salah satu wali tapi belum jadi terus wali itu ke Demak bikin masjid di sana," tutupnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Film Pendek Singsot, Tentang Mitos Siulan Yang Bisa Mengundang Hantu

Jimin BTS Digosipkan Kencan Dengan Yein Eks Lovelyz, Berikut Selengkapnya

Mengetahui Beberapa Artis Yang Hamil Kembali Setelah Belum Lama Melahirkan